A.
PENGERTIAN
PARADIGMA
Pengertian
Paradigma yaitu sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas serta arah
dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu
bidang tertentu termasuk dalam bidang reformasi.
B. PENGERTIAN
REFORMASI
Reformasi berasal dari kata reformation dengan kata dasar reform
yang memiliki arti perbaikan, pembaruan, memperbaiki dan menjadi lebih baik
(Kamus Inggris-Indonesia, An English-Indonesian Dictionary, oleh John M.
Echols dan Hassan Shadily 2003 dalam Setijo, 2009). Secara umum reformasi di
Indonesia dapat diartikan sebagai melakukan perubahan ke arah yang lebih baik
dengan cara menata ulang hal-hal yang telah menyimpang dan tidak sesuai lagi
dengan kondisi dan struktur ketatanegaraan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
C. TUJUAN
REFORMASI
Tujuan
reformasi dapat disebutkan sebagai berikut:
1.
Melakukan
perubahan secara serius dan bertahap untuk menemukan nilai-nilai baru dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara;
2.
Menata
kembali seluruh struktur kenegaraan, termasuk perundangan dan konstitusi yang
menyimpang dari arah perjuangan dan cita-cita seluruh masyarakat bangsa;
3.
Melakukan
perbaikan di segenap bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya,
maupun pertahanan keamanan;
4.
Menghapus
dan menghilangkan cara-cara hidup dan kebiasaan dalam masyarakat bangsa yang
tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi, seperti KKN, kekuasaan
sewenang-wenang atau otoriter, penyimpangan, dan penyelewengan yang lain.
D. SYARAT-SYARAT
REFORMASI
Adapun
ketentuan atau syarat-syarat yang bisa menyatakan suatu kondisi reformasi
adalah sebagai berikut.
a.
Telah
terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam pelaksanaan kehidupan di bidang
ketatanegaraan, termasuk bidang perundang-undangan dan hukum.
b.
Penyelenggara
negara telah menggunakan kewenangannya secara otoriter di luar etika kenegaraan
melaui tindakan yang sangat merugikan dan menekan kehidupan rakyat keseluruhan.
c.
Telah
semakin melemahnya kondisi kehidupan ekonomi seluruh warga masyarakat bangsa
sebagai akibat krisis multidimensi yang berkepanjangan dan terus-menerus.
d.
Perlunya
langkah-langkah penyelamatan dalam segenap bidang kehidupan, khususnya yang
menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
e.
Reformasi
harus menggunakan landasan kerohanian berupa falsafah dasar negara Pancasila.
E. DAMPAK
REFORMASI
1.
Dampak
Negatif
Reformasi yang telah terjadi di tengah masyarakat
Indonesia sejak 1998 menghendaki perubahan mendasar. Agenda reformasi melalui
berbagai ketetapan MPR dan berbagai perundangan-undangan yang baru, tetapi
setelah berlangsung lebih dari lima tahun lamanya, terasa bahwa reformasi
berjalan secara belum terarah.
Bangsa Indonesia pada saat ini justru sedang mengalami
ketidakharmonisan , tanpa orientasi sehingga sangat mudah mengarah kepada
jurang disintergasi. Bila dinilai
kembali kepada kondisi sebelum reformasi maka tampak kekuasaan yang pada waktu
dahulu, bersifat otoriter, sekarang harus bersifat demokratis, pemerintahan
yang terpusat harus menjadi desentralisasi. Pemerintahan yang bersifat tertutup
dan penuh larangan serta pengawasan seharusnya menjadi lebih terbuka dan
transparan, serta kebebasan.
Kebebasan yang bertanggung jawab dan secara tegas melalui
konsep-konsep yang terarah dapat membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Rasionalitas dan objektivitas telah tersisihkan sehingga muncul egoisme,
perseorangan maupun kelompok tanpa mengindahkan etika, moral, norma, dan hukum
yang ada. Politik kekerasan banyak bermunculan dan berkembang mewarnai
kehidupan baru dalam masyarakat sehingga sulit mengatasi maupun mengontrolnya.
Polusi kepentingan justru menambah keruwetan dalam kehidupan bermasyarakat
bangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hal-hal seperti ini harus segera diatasi
dan dihapuskan.
2.
Dampak
Positif
Munculnya suasana baru yang bisa kita saksikan di
antaranya terdapat kebebasan pers, kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi,
dan lain-lain yang selama ini belum pernah ada, termasuk kebeasan pemikiran
dlam memperjuangkan pembebasan tahanan politik maupun narapidana politik. Hal
ini bisa dinilai sebagai lambang dari suatu era kebeasa berpolitik di
Indonesia.
Timbulnya kesadaran baru bahwa masyarakat bisa bertindak
dan berbuat sesuatu serta melakukan perubahan-perubahan diantaranya pendobrakan
atas rasa ketakutan politik, pendobrakan terhadap proses pembodohan yang telah
berlangsung hampir lebih adri tiga puluh tahun.
Dengan pengalaman baru bereformasi, masyarakay Indonesia,
khususnya para mahasiswa mulai sadar dan memiliki serta dapat memperjuangkan
politik mereka yang benar-benar dapat membawa ke arah perubahan positif.
Kesadaran baru ini penting sekali artinya dalam rangka perjuangan selanjutnya
menuju reformasi yang total dan menyeluruh.
F. HASIL
REFORMASI
Pendapat dan penilaian terhadap reformasi masih banyak
yang bersifat vokal, terutama dari kalangan bawah yang sangat mendambakan hasil
reformasi bagi perbaikan kondisi kehidupan yang tentunya telah serba
pembaharuan, tetapi hasil ini pun belum banyak menunjukkan kemajuan dan
perubahan ke arah yang lebih baik.
Reformasi memang hal yang tidak mudah dalam
pencapaiannya, tetapi juga cukup banyak makan waktu. Selama jangka waktu lebih
dari lima tahun masa reformasi telah terjadi tiga kali pergantian presiden,
kemudian dalam rangka pencalonan presiden berikutnya akan dipilih melalui
sistem ketatanegaraan yang baru. Pemilihan dilakukan secara langsung oleh
rakyat berdasarkan hati nurani meskipun banyak hambatan yang dihadapi. Dengan contoh seperti pemilu, pemilu
pilkada pada jakarta saat ini. Pemilu seharusnya berjalan secara kondusif
tetapi tidak untuk pada jakarta. Banyak yang tidak berjalan secara teratur.
Banyak sorotan tajam dari masyarakat luas dewasa ini,
yaitu penegak hukum, pencegahan maupun penindakan terhadap KKN lama maupun yang
muncul semasa reformasi karena hal tersebut karena hal tersebut menyangkut tentang
ketertiban masyarakat. Seperti di Indonesia, sangat didambakan lahirnya good
governance yang mampu menangani apapun masalah krisis yang belum selesai hal
ini juga dibantu dengan seluruh masyarakat memalui organisasi kemasyarakat
maupun nonpemerintah yang pada saat ini ikut membantu dan membangun kemampuan
good governance.
G. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
REFORMASI
Pada
saat gerakan reformasi terjadi pada Indonesia, banyak politik yang menjalakan
tugasnya secara menyimpang dan tidak bertanggung jawab dengan menggunakan hasil
masyarakat Indonesia atau dengan kata lain melakukan tindakan korupsi (KKN).
Indonesia berusaha dan ingin mengadakan suatu gerakan perubahan, yakni dengan
menghayati, meyakini, dan mengamalkan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara
agar terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, masyarakat
bermartabat kemanusiaan dan cinta tanah air yang menghargai hak-hak asasi
manusia, masyarakat yang demokratis bermoral religius dan beradab.
Kenyataan
yang terjadi, gerakan reformasi dimanfaatkan oleh para elit politik demi
memperoleh kekuasaannya, sehingga tidak mengherankan bila banyak terjadi
perbenturan kepentingan pribadi politik tersebut. Gerakan reformasi ini membuat
bangsa Indonesia, semakin sengsara dan berdampak pada social, politik, ekonomi
terutama kemanusiaan. Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi
kemanusiaan yang banyak menelan korban jiwa penerus bangsa sebagai rakyat kecil
yang tidak berdosa dan mendambakan perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
Kondisi
ekonomi semakin menyedihkan, banyak perusahaan atau perbankan mengalami
kebangkrutan yang tidak lain akan menyebabkan PHK dan pengangguran secara
besar-besaran terjadi. Rakyat benar-benar merintih dan menjerit yang kehidupan
kesehariannya sangat memprihatinkan karena kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari. Namun dalam hal ini kalangan elit politik serta pelaku
politik seakan menutup kedua telinga mereka tanpa mempedulikan kesengsaraan mereka.
Namun
bangsa Indonesia masih memiliki sebuah keyakinan akan nilai-nilai yang berakar
dari pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu nilai-nilai pancasila.
Reformasi adalah menata kehidupan bangsa dan negara dalam suatu sistem negara
di bawah nilai-nilai Pancasila, bukan menghancurkan dan membubarkan bangsa dan
negara Indonesia. Reformasi yang dilakukan bangsa Indonesia tidak akan
menghancurkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Bahkan pada hakikatnya
reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan ke arah yang sumber nilai
yang merupakan sebuah panggung kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama
ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa orde lama
maupun masa orde baru.
Menurut
landasan historisnya, sumber nilai serta sumber norma yang fundamental dari
negara Indonesia yaitu Pancasila, yang mempunyai nilai Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan serta ada secara objektif dan melekat pada
bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka dalam kehidupan
politik yang sedang melakukan reformasi bukan berarti akan mengubah cita-cita,
dasar nilai, serta pandangan hidup bangsa melainkan menata kembali dalam suatu platform yang bersumber pada nilai-nilai
Pancasila dalam berbagai segala bidang reformasi, antara lain dalam bidang
hukum, politik, ekonomi, serta bidang-bidang lainya. Sebuah reformasi harus
memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform
yang jelas bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan
paradigma Reformasi.
1.
Gerakan
Reformasi
Pada
pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini, bangsa Indonesia
menghadapi krisis ekonomi yang hebat, sehingga menyebabkan stabilitas ekonomi
makin ambruk dan menyebar luasnya
tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada hampir semua instansi pemerintahan
serta penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang para petinggi negara yang membuat
rakyat semakin menderita.
Pancasila
yang pada dasarnya sebagai sumber nilai, dasar moral etik bagi negara dan
aparat pelaksana negara digunakan sebagai alat legitimasi politik, semua
tindakan dan kebijakan mengatasnamakan Pancasila, kenyataannya tindakan dan
kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan Pancasila.
Klimaks
dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, sehingga
muncullah gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan
masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya Reformasi di segala bidang terutama
bidang hukum, politik, ekonomi, dan pembangunan.
Awal
dari gerakan Reformasi bangsa Indonesia, yakni dengan mundurnya Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan oleh Prof. Dr. B.J
Habibie. Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.
Dalam pemerintahan Habibie, melakukan reformasi secara menyeluruh terutama
pengubahan pada 5 paket UU. Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan
reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu
diwujudkan UU Anti Monopoli, UU
Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU
Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Buruh, dan lain sebagainya (Nopirin dalam Kaelan, 1998:1). Dan dengan
demikian, reformasi harus juga diikuti reformasi hukum bersama aparat penegaknya
serta reformasi pada pemerintahan.
Susunan
DPR dan MPR harus mengalami reformasi yang dilakukan melalui Pemilu. Reformasi
terhadap UU Politik harus dapat menjadikan para elit politik dan pelaku politik
bersifat demokratis, yang mau mendengar penderitaan masyarakat dan mampu
menjalankan tugasnya dengan benar.
a.
Gerakan
Reformasi dan Ideologi Pancasila
Dalam
kenyataannya, bangsa Indonesia telah salah mengartikan makna dari sebuah kata Reformasi, yang saat ini menimbulkan
gerakan yang mengatas namakan
Reformasi, padahal gerakan tersebut tidak sesuai dengan pengertian dari
Reformasi. Contohnya, saat masyarakat hanya bisa menuntut dan melakukan
aksi-aksi anarkis yang pada akhirnya terjadilah pengerusakan fasilitas umum,
sehingga menimbulkan korban yang tak bersalah. Oleh karena itu dalam melakukan
gerakan reformasi, masyarakat harus tahu dan paham akan pengertian dari
reformasi itu sendiri, agar proses menjalankan reformasi sesuai dengan tujuan
reformasi tersebut.
Secara
harfiah reformasi memiliki makna
yaitu
suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal
yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan
nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda dalam Kaelan, 1998).
b.
Pancasila
sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Pancasila
merupakan dasar filsafat negara Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, namun ternyata Pancasila tidak diletakkan pada kedudukan dan
fungsinya. Pada masa orde lama pelaksanaan negara mengalami penyimpangan dan
bahkan bertentangan dengan Pancasila. Presiden seumur hidup yang bersifat
diktator. Pada masa orde baru, Pancasila hanya sebagai alat politik oleh penguasa.
Setiap warga yang tidak mendukung kebijakan penguasa dianggap bertentangan
dengan Pancasila.
Oleh
karena itu, gerakan reformasi harus dimasukkan dalam kerangka Pancasila,
sebagai landasan cita-cita dan ideologi negara Indonesia, agar tidak terjadi
anarkisme yan menyebabkan hancurnya
bangsa dan negara Indonesia.
2.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam
era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan
hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan
penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan
terhadap peraturan perundang-undangan. Kerusakan subsistem hukum yang terjadi
pada masa orde baru yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya
politik, ekonomi, dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan
suatu reformasi, menata kembali kerusakan subsistem yang mengalami kerusakan
tersebut.
a.
Pancasila
sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum
Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir,
sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di
Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya
berbagai macam upaya perubahan hukum, atau Pancasila harus merupakan paradigma
dalam suatu pembaharuan hukum. Agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan
masyarakat maka hukum harus senantiasa diperbaharui agar aktual atau sesuai
dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dalam
pembaharuan hukum yang terus menerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai
kerangka berpikir, sumber norma dan sumber nilai-nilainya.
Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi
regulatif. Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu tata
hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar
yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya itu
sendiri.
Sumber hukum meliputi dua macam pengertian. Pertama,
sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara
penyusunan hukum. Kedua, sumber material hukum, yaitu suatu sumber hukum yang
menentukan materi atau suatu isi suatu norma hukum. Pancasila menentukan isi
dan bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia yang tersusun secara
hierarkis. Selain sumber yang terkandung dalam Pancasila reformasi dan
pembaharuan hukum juga harus bersumber pada kenyataan empiris yang ada dalam
masyarakat terutama dalam wujud aspirasi-aspirasi yang dikehendakinya. Oleh
karena itu, dalam reformasi hukum dewasa ini selain Pancasila sebagai paradigma
pembaharuan hukum yang merupakan sumber norma dan sumber nilai, terdapat unsur
pokook yang justru tidak kalah pentingnya yaitu kenyataan empiris yang ada
dalam masyarakat.
b.
Dasar
Yuridis Reformasi Hukum
Reformasi hukum harus konsepsional dan konstitusional,
sehingga reformasi hukum memiliki landasan dan tujuan yang jelas. Dalam upaya
reformasi hukum dewasa ini telah banyak dilontarkan beerbagai macam pendapat
tentang aspek apa saja yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia,
bahkan telah banyak usulan untuk perlunya amandemen atau kalau perlu perubahan
secara menyeluruh terhadap pasal-pasal UUD 1945. Berdasarkan banyaknya aspirasi
yang berkembang cenderung ke arah adanya amandemen terhadap pasal-pasal UUD
1945 bukannya perubahan secara menyeluruh namun hendaklah dipahami secara
obyektif bahwa bilamana terjadi perubahan seluruh UUD 1945 maka hal itu tidak
menyangkut perubahan terhadap pembukaan UUD 1945, karena pembukaan UUD 1945
berkedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Oleh karena itu,
apabila merubah pembukaan dari UUD 1945 maka sama halnya membubarkan negara
Indonesia. Seluruh perubahan maupun produk hukum di Indonesia haruslah
didasarkan pada pokok-pokok pikiran yang yang tertuang dalam Pancasila yang
hakikatnya merupakan cita-cita hukum dan merupakan esensi dari sila-sila
Pancasila.
Dasar yuridis Pancasila sebagai reformasi hukum adalah
Tap No.XX/MPRS/1966, yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, yang berarti sebagai sumber produk serta proses
penegakan hukum yang harus senantiasa bersumber pada nila-nilai Pancasila dan
secara eksplisit dirinci tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila.
c.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum
Dalam suatu negara apapun baiknya suatu peraturan
perundang-undangan namun tidak disertai dengan jaminan pelaksanaan hukum yang
baik, niscahya reformasi hukum akan menjadi sia-sia. Reformasi pada dasarnya
untuk mengembalikan hakikat dan fungsi negara pada tujuan semula yaitu
melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah.
Pelaksanaan perundang-undangan harus mendasarkan pada
terwujudnya atas jaminan bahwa dalam suatu negara kekuasaan adalah ditangan
rakyat. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat
mewujudkan negara demokratis dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan
hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan. Jaminan atas
terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara yang meliputi seluruh unsur
keadilan baik keadilan distributif, keadilan komutatif, serta keadilan legal.
Konsekuensinya dalam pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak
kejaksaan adalah sebagai ujung tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari
praktek KKN.
3.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Politik
Nilai
demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi
bangunan
negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataannya tidak
dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Nilai demokrasi
tersebut secara normatif terjabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal 1
ayat (2) menyatakan:
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan rakyat”.
Pasal 2 ayat
(2)menyatakan:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang
telah ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal 5 ayat (1)
menyatakan:
“Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 6 ayat (2)
menyatakan:
“Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan rakyat dengan suara terbanyak”.
Prinsip-prinsip demokrasi yang terkandung dalam UUD 1945
bilamana
kita kembalikan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila maka
kedaulatan tertinggi negara adalah ditangan rakyat. Rakyat merupakan asal mula
kekuatan negara. Oleh karena itu paradigma ini harus menjadi dasar pijak dalam
reformasi politik.
Untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus
melalui pada reformasi undang-undang yang mengatur sistem politik tersebut,
dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana
terkandung dalam Pancasila.
Susunan keanggotaan MPR sebagaimana termuat
dalam undang-undang politik No.2/1985 tersebut jelas tidak demokratis dan tidak
mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat
sebagai tertuang dalam semangat UUD 1945. Berdasarkan kenyataan susunan keanggotaan
MPR, DPR dam DPRD maka rakyat bertekad menyusun melakukan reformasi dengan
mengubah sistem politik tersebut melalui sidang istimewa MPR tahun 1998
Undang-undang no.4 Tahun 1999 yang mengatur tentang susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD.
Perubahan yang telah dilakukan antara
lain Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah anggota MPR sebanyak 700
orang. Anggota DPR hasil pemilu sebanyak 500 orang. Utusan daerah sebanyak 135
orang, yaitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat 1. Utusan golongan sebanyak 65
orang. Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya adalah pada pasal 2 ayat (3)
yaitu utusan daerah dipillih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui bahwa DPR
adalah merupakan hasil pemilu jadi bersifat demokratis.
Susunan
Keanggotaan DPR:
Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang dalam
Undang-undang No.4 Pasal 11 sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (2) menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas:
a. Anggota partai
politik hasil pemilu
b. Anggota ABRI
yang diangkat
Pasal 11 ayat (3) menyatakan keanggotaan DPR terdiri
atas:
a. Anggota partai
politik hasil pemilu sebanyak 462 orang
b. Anggota ABRI
yang diangkat sebanyak 38 orang.
Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I:
Reformasi atas Undang–undang
politik yang mengatur Susunan
Keanggotaan DPRD Tingkat I, tertuang dalam undang-undang politik No.4 Tahun
1999, sebagai berikut:
Pasal
18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD dilakukan melalui pemilu dan
pengankatan
Pasal
18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas:
a. Anggota partai
politik hasil pemilihan umum
b. Anggota ABRI
yang diangkat
Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa sejumlah anggota DPRD
I ditetapkan sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang
termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.
Susunan
Keanggotaan DPRD II:
Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD II tertuang dalam
Undang-undang Poitik No.4 Tahun 1999, sebagai berikut:
Pasal
25 ayat (1) menyatakan pengisian anggota DPRD II dilakukan berdasarkan hasil
Pemilihan Umum dan pengangkatan.
Pasal 25 ayat (2) menyatakan DPRD II terdiri atas:
a. Anggota partai
politik hasil pemilihan umum
b. Anggota ABRI
yang diangkat
Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa sejumlah anggota DPRD
II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang
termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.
Demi terwujudnya supra struktur yang benar-benar
demokratis dan spiratif maka sangat penting untuk dilakukan penataan kembali
infra struktur politik, terutama tentang partai politik. Dalam undang-undang
ditentukan bahwa partai politik dan golomgan karya hanya meliputi tiga macam
yaitu, Partai Paersatuan Penbangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Pada masa orde baru keberadaan infra struktur
tersebut masih diseragamkan dengan asa tunggal Pancasila, sehingga secara politis
kehidupan yang demikian ini akan mematikan proses demokratisasi dalam kehidupan
negara.
Adapun ketentuan yang mengatur tentang partai politik
diatur dalam Undang-undang No.2 Tahun 1999 tentang partai politik yang lebih
demokratis dan memberikan kebebasan serta keleluasaan untuk menyalurkan
aspirasinya. Berdasarkan ketentuan UU
tersebut warga negara diberi kebebasan untuk membentuk partai politik
untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Atas ketentuan UU tersebut maka bermunculanlah
partai politik di era reformasi ini yang mencapai 114 partai politik.
Pelaksanaan pemilu juga dilakukan perubahan dan diatur
dalam Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang pemilihan umum. Ketentuan
Undang-undang No.3 Tahun 1999, Bab III Pasal 8, dijelaskan bahwa penyelenggara
pemilihan umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan
mandiri, yang terdiri atas unsur partai-partai politik pesertapemilihan umum
dan unsur pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Pancasila dan UUD 1945 beserta pembukaan UUD 1945 ditetapkan
kehidupan demokrasi dan kemakmuran dijadikan sebagai kerangka dasar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam praktek plaksanaannya ternyata berbeda
dengan nilai Pancasila serta semangat dalam UUD 1945. Kondisi yang demikian ini
tidak menumbuhkan kehidupan politik yang demokratis karena penguasa senantiasa
memperkokoh kekuasaaannya dengan berlindung dibalik ideologi Pancasila.
Oleh karena itu reformasi kehidupan
politik agar benar-benar demokratis dilakukan dengan jalan revitalisasi ideologi
Pancasila, yaitu dengan mengembalikan pancasila pada kedudukan serta fungsi
yang sebenarnya sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri negara yang tertuang
dalam UUD 1945. Reformasi kehidupan pilitik juga dilakukan dengan meletakkan
cita-cita kehidupan kenegaraan dan kebangsaan dalam satu kesatuan waktu yaitu
nilai masa lalu, masa kini dan kehidupan masa yang akan datang.
4.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Kebijaksanaan yang selama ini diterapkan hanya
mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan
bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan
sekelompok kecil orang bahkan penguasa. Tidak terwujudnya pelembagaan proses
politik yang demokratis, mengakibatkan hubungan pribadi merupakan mekanisme
utama dalam hubungan sosial, politik, dan ekonomi dalam suatu negara. Kelemahan
atas sistem hubungan kelembagaan demokratis tersebut memberikan peluang bagi
tumbuh berkembangnya hubungan antara penguasa politik dengan pengusaha, bahkan
antara birokrat dengan pengusaha (Sanit, 1999: 85). Terlebih lagi karena
lemahnya sistem kontrol kelembagaan berkembang pula penguasa sekaligus sebagai
pengusaha, yang didasarkan atas birokrasi dan wibawa keluarga pengusaha.
Kondisi yang demikian ini jelas tidak mendasarkan atas
nilai-nilai pancasila yang meletakkan kemakmuran pada paradigma demi
kesejahteraan seluruh bangsa. Bangsa sebagai unsur pokok serta subyek dalam
Negara yang merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia individu makhluk sosial,
adalah adalah sebagai satu keluarga bangsa. Oleh karena itu perubahan dan
pengembangan ekonomi harus diletakkan pada peningkatan harkat martabat serta
kesejahteraan seluruh bangsa sebagai satu keluarga. Sistem ekonomi yang
berbasis pada kesejahteraan rakyat menurut Moh. Hatta, adalah merupakan pilar (soko
guru) ekonomi Indonesia.
Sistem ekonomi Indonesia pada masa orde baru bersifat
“birokratik otoritarian” yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan
partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan
nasional hampir sepenuhnya berada ditangan penguasa bekerja sama dengan
kelompok militer dan kaum teknokrat. Adapun kelompok pengusaha oligopostik
didukung oleh pemerintah bekerja sama dengan masyarakat bisnis internasional,
dan terlebih lagi kuatnya pengaruh otoritas kekuasaan keluarga pejabat Negara
termasuk presiden (William Liddle, 1995: 74).
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yanga
hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan
barsama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan
sekelompok kecil orang bahkan pengusaha. Pada era ekonomi global dewasa ini
dalam kenyataannya tidak mampu bertahan. krisis ekomoni yang terjadi di dunia
dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga
kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat.
Dalam kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu
bertahan pada masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi
yang berbasis pada usaha rakyat. Oleh karena itu, rekapitalisasi pengusaha pada
masa krisi dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak membantu pengusaha yang
sedang terpuruk.
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi
ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai pancasila
yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut:
a.
Keamanan
pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan “social safety net” yang dipopulerkan
dengan program jaringan pengaman sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka pemerintah harus secara konsisten
menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknum pemerintah masa orde baru yang
melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan dan usaha.
b.
Program
rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan menciptakan
kondisi kepastian usaha, yaitu dengan diwujudkannya perlindungan hukum serta
undang-undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam
sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung
perekonomian.
c.
Transformasi
struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem
untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation). Transformasi struktural ini meliputi
proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah
ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi sistem ke ekonomi pasar, dari
ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi
ekspor (Nopirin, 1999:4) dengan sendirinya interviensi birokrat pemerintahan
yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus
segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya
terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan
dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi kesenjangan
ekonomi.
Tidak hanya
itu, agar terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka pemerintah juga memberikan
kebijakan ekonomi seperti:
a.
Kebijakan
ekonomi makro
Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan
pemerintah dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah
terhadap valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai
anggaran berimbang, dengan membatasi devisa anggaran sampai pada tingkat yang
dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri. Kebijaksanaan moneter
yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan untuk menekan
laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan
menahan naiknya permintaan anggaran, juga untuk mendorong masyarakat
meningkatkan tabungan di sektor perbankan. Meskipun demikian pemerintah
menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat menjadi salah satu faktor
terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat
kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi
tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada
tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.
b.
Kebijakan
ekonomi mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah,
ditujukan, antara lain:
1.
Untuk
mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan
rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program penyediaan
kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan
pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan
pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan
rendah.
2.
Menyehatkan
sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan
lembaga perbankan.
3.
Merestrukturisasi
hutang luar negeri. mereformasi struktural di sektor riil, agar perekonomian,
terutama sektor riil dapat berkembang lebih efisien, pemerintah melancarkan
berbagai program reformasi struktural. Reformasi struktural di sektor riil
mencakup:
a.
Penghapusan
berbagai praktek monopoli,
b.
Deregulasi
dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dalam dan
luar negeri dan bidang investasi,
c.
Privatisasi
BUMN. Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami
pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan,
antara lain, adanya praktek-praktek monopoli di berbagai bidang usaha. Dengan
praktek-praktek monopoli telah terjadi konsentrasi kekuatan pasar hanya pada
satu atau beberapa pelaku usaha, sehingga kegiatan produksi, distribusi menjadi
tidak efisien dan secara lebih luas daya saing perekonomian nasional menjadi
lemah.
d.
Mendorong
ekspor. permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk memulihkan
kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi ekspor. Tambahan pula
dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tinggi dewasa ini, Indonesia makin
memiliki daya saing dalam barang ekspor yang padat karya dan padat kekayaan
alam. Namun peningkatan ekspor dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala,
yakni keengganan pihak luar negeri membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan
baku, serta hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ekspor, seperti
misalnya operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan administrasi
perpajakan.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Jogyakarta:
Paradigma, Edisi Reformasi.
Komalasari, Kokom.
2007. Pendidikan Pancasila. Jakarta:
Lentera Cendekia.
Syarbani,
Syahrial. 2004. Pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
A.
PENGERTIAN
PARADIGMA
Pengertian
Paradigma yaitu sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas serta arah
dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu
bidang tertentu termasuk dalam bidang reformasi.
B. PENGERTIAN
REFORMASI
Reformasi berasal dari kata reformation dengan kata dasar reform
yang memiliki arti perbaikan, pembaruan, memperbaiki dan menjadi lebih baik
(Kamus Inggris-Indonesia, An English-Indonesian Dictionary, oleh John M.
Echols dan Hassan Shadily 2003 dalam Setijo, 2009). Secara umum reformasi di
Indonesia dapat diartikan sebagai melakukan perubahan ke arah yang lebih baik
dengan cara menata ulang hal-hal yang telah menyimpang dan tidak sesuai lagi
dengan kondisi dan struktur ketatanegaraan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
C. TUJUAN
REFORMASI
Tujuan
reformasi dapat disebutkan sebagai berikut:
1.
Melakukan
perubahan secara serius dan bertahap untuk menemukan nilai-nilai baru dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara;
2.
Menata
kembali seluruh struktur kenegaraan, termasuk perundangan dan konstitusi yang
menyimpang dari arah perjuangan dan cita-cita seluruh masyarakat bangsa;
3.
Melakukan
perbaikan di segenap bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya,
maupun pertahanan keamanan;
4.
Menghapus
dan menghilangkan cara-cara hidup dan kebiasaan dalam masyarakat bangsa yang
tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi, seperti KKN, kekuasaan
sewenang-wenang atau otoriter, penyimpangan, dan penyelewengan yang lain.
D. SYARAT-SYARAT
REFORMASI
Adapun
ketentuan atau syarat-syarat yang bisa menyatakan suatu kondisi reformasi
adalah sebagai berikut.
a.
Telah
terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam pelaksanaan kehidupan di bidang
ketatanegaraan, termasuk bidang perundang-undangan dan hukum.
b.
Penyelenggara
negara telah menggunakan kewenangannya secara otoriter di luar etika kenegaraan
melaui tindakan yang sangat merugikan dan menekan kehidupan rakyat keseluruhan.
c.
Telah
semakin melemahnya kondisi kehidupan ekonomi seluruh warga masyarakat bangsa
sebagai akibat krisis multidimensi yang berkepanjangan dan terus-menerus.
d.
Perlunya
langkah-langkah penyelamatan dalam segenap bidang kehidupan, khususnya yang
menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
e.
Reformasi
harus menggunakan landasan kerohanian berupa falsafah dasar negara Pancasila.
E. DAMPAK
REFORMASI
1.
Dampak
Negatif
Reformasi yang telah terjadi di tengah masyarakat
Indonesia sejak 1998 menghendaki perubahan mendasar. Agenda reformasi melalui
berbagai ketetapan MPR dan berbagai perundangan-undangan yang baru, tetapi
setelah berlangsung lebih dari lima tahun lamanya, terasa bahwa reformasi
berjalan secara belum terarah.
Bangsa Indonesia pada saat ini justru sedang mengalami
ketidakharmonisan , tanpa orientasi sehingga sangat mudah mengarah kepada
jurang disintergasi. Bila dinilai
kembali kepada kondisi sebelum reformasi maka tampak kekuasaan yang pada waktu
dahulu, bersifat otoriter, sekarang harus bersifat demokratis, pemerintahan
yang terpusat harus menjadi desentralisasi. Pemerintahan yang bersifat tertutup
dan penuh larangan serta pengawasan seharusnya menjadi lebih terbuka dan
transparan, serta kebebasan.
Kebebasan yang bertanggung jawab dan secara tegas melalui
konsep-konsep yang terarah dapat membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Rasionalitas dan objektivitas telah tersisihkan sehingga muncul egoisme,
perseorangan maupun kelompok tanpa mengindahkan etika, moral, norma, dan hukum
yang ada. Politik kekerasan banyak bermunculan dan berkembang mewarnai
kehidupan baru dalam masyarakat sehingga sulit mengatasi maupun mengontrolnya.
Polusi kepentingan justru menambah keruwetan dalam kehidupan bermasyarakat
bangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hal-hal seperti ini harus segera diatasi
dan dihapuskan.
2.
Dampak
Positif
Munculnya suasana baru yang bisa kita saksikan di
antaranya terdapat kebebasan pers, kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi,
dan lain-lain yang selama ini belum pernah ada, termasuk kebeasan pemikiran
dlam memperjuangkan pembebasan tahanan politik maupun narapidana politik. Hal
ini bisa dinilai sebagai lambang dari suatu era kebeasa berpolitik di
Indonesia.
Timbulnya kesadaran baru bahwa masyarakat bisa bertindak
dan berbuat sesuatu serta melakukan perubahan-perubahan diantaranya pendobrakan
atas rasa ketakutan politik, pendobrakan terhadap proses pembodohan yang telah
berlangsung hampir lebih adri tiga puluh tahun.
Dengan pengalaman baru bereformasi, masyarakay Indonesia,
khususnya para mahasiswa mulai sadar dan memiliki serta dapat memperjuangkan
politik mereka yang benar-benar dapat membawa ke arah perubahan positif.
Kesadaran baru ini penting sekali artinya dalam rangka perjuangan selanjutnya
menuju reformasi yang total dan menyeluruh.
F. HASIL
REFORMASI
Pendapat dan penilaian terhadap reformasi masih banyak
yang bersifat vokal, terutama dari kalangan bawah yang sangat mendambakan hasil
reformasi bagi perbaikan kondisi kehidupan yang tentunya telah serba
pembaharuan, tetapi hasil ini pun belum banyak menunjukkan kemajuan dan
perubahan ke arah yang lebih baik.
Reformasi memang hal yang tidak mudah dalam
pencapaiannya, tetapi juga cukup banyak makan waktu. Selama jangka waktu lebih
dari lima tahun masa reformasi telah terjadi tiga kali pergantian presiden,
kemudian dalam rangka pencalonan presiden berikutnya akan dipilih melalui
sistem ketatanegaraan yang baru. Pemilihan dilakukan secara langsung oleh
rakyat berdasarkan hati nurani meskipun banyak hambatan yang dihadapi. Dengan contoh seperti pemilu, pemilu
pilkada pada jakarta saat ini. Pemilu seharusnya berjalan secara kondusif
tetapi tidak untuk pada jakarta. Banyak yang tidak berjalan secara teratur.
Banyak sorotan tajam dari masyarakat luas dewasa ini,
yaitu penegak hukum, pencegahan maupun penindakan terhadap KKN lama maupun yang
muncul semasa reformasi karena hal tersebut karena hal tersebut menyangkut tentang
ketertiban masyarakat. Seperti di Indonesia, sangat didambakan lahirnya good
governance yang mampu menangani apapun masalah krisis yang belum selesai hal
ini juga dibantu dengan seluruh masyarakat memalui organisasi kemasyarakat
maupun nonpemerintah yang pada saat ini ikut membantu dan membangun kemampuan
good governance.
G. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
REFORMASI
Pada
saat gerakan reformasi terjadi pada Indonesia, banyak politik yang menjalakan
tugasnya secara menyimpang dan tidak bertanggung jawab dengan menggunakan hasil
masyarakat Indonesia atau dengan kata lain melakukan tindakan korupsi (KKN).
Indonesia berusaha dan ingin mengadakan suatu gerakan perubahan, yakni dengan
menghayati, meyakini, dan mengamalkan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara
agar terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, masyarakat
bermartabat kemanusiaan dan cinta tanah air yang menghargai hak-hak asasi
manusia, masyarakat yang demokratis bermoral religius dan beradab.
Kenyataan
yang terjadi, gerakan reformasi dimanfaatkan oleh para elit politik demi
memperoleh kekuasaannya, sehingga tidak mengherankan bila banyak terjadi
perbenturan kepentingan pribadi politik tersebut. Gerakan reformasi ini membuat
bangsa Indonesia, semakin sengsara dan berdampak pada social, politik, ekonomi
terutama kemanusiaan. Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi
kemanusiaan yang banyak menelan korban jiwa penerus bangsa sebagai rakyat kecil
yang tidak berdosa dan mendambakan perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
Kondisi
ekonomi semakin menyedihkan, banyak perusahaan atau perbankan mengalami
kebangkrutan yang tidak lain akan menyebabkan PHK dan pengangguran secara
besar-besaran terjadi. Rakyat benar-benar merintih dan menjerit yang kehidupan
kesehariannya sangat memprihatinkan karena kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari. Namun dalam hal ini kalangan elit politik serta pelaku
politik seakan menutup kedua telinga mereka tanpa mempedulikan kesengsaraan mereka.
Namun
bangsa Indonesia masih memiliki sebuah keyakinan akan nilai-nilai yang berakar
dari pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu nilai-nilai pancasila.
Reformasi adalah menata kehidupan bangsa dan negara dalam suatu sistem negara
di bawah nilai-nilai Pancasila, bukan menghancurkan dan membubarkan bangsa dan
negara Indonesia. Reformasi yang dilakukan bangsa Indonesia tidak akan
menghancurkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Bahkan pada hakikatnya
reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan ke arah yang sumber nilai
yang merupakan sebuah panggung kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama
ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa orde lama
maupun masa orde baru.
Menurut
landasan historisnya, sumber nilai serta sumber norma yang fundamental dari
negara Indonesia yaitu Pancasila, yang mempunyai nilai Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan serta ada secara objektif dan melekat pada
bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka dalam kehidupan
politik yang sedang melakukan reformasi bukan berarti akan mengubah cita-cita,
dasar nilai, serta pandangan hidup bangsa melainkan menata kembali dalam suatu platform yang bersumber pada nilai-nilai
Pancasila dalam berbagai segala bidang reformasi, antara lain dalam bidang
hukum, politik, ekonomi, serta bidang-bidang lainya. Sebuah reformasi harus
memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform
yang jelas bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan
paradigma Reformasi.
1.
Gerakan
Reformasi
Pada
pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini, bangsa Indonesia
menghadapi krisis ekonomi yang hebat, sehingga menyebabkan stabilitas ekonomi
makin ambruk dan menyebar luasnya
tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada hampir semua instansi pemerintahan
serta penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang para petinggi negara yang membuat
rakyat semakin menderita.
Pancasila
yang pada dasarnya sebagai sumber nilai, dasar moral etik bagi negara dan
aparat pelaksana negara digunakan sebagai alat legitimasi politik, semua
tindakan dan kebijakan mengatasnamakan Pancasila, kenyataannya tindakan dan
kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan Pancasila.
Klimaks
dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, sehingga
muncullah gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan
masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya Reformasi di segala bidang terutama
bidang hukum, politik, ekonomi, dan pembangunan.
Awal
dari gerakan Reformasi bangsa Indonesia, yakni dengan mundurnya Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan oleh Prof. Dr. B.J
Habibie. Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.
Dalam pemerintahan Habibie, melakukan reformasi secara menyeluruh terutama
pengubahan pada 5 paket UU. Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan
reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu
diwujudkan UU Anti Monopoli, UU
Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU
Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Buruh, dan lain sebagainya (Nopirin dalam Kaelan, 1998:1). Dan dengan
demikian, reformasi harus juga diikuti reformasi hukum bersama aparat penegaknya
serta reformasi pada pemerintahan.
Susunan
DPR dan MPR harus mengalami reformasi yang dilakukan melalui Pemilu. Reformasi
terhadap UU Politik harus dapat menjadikan para elit politik dan pelaku politik
bersifat demokratis, yang mau mendengar penderitaan masyarakat dan mampu
menjalankan tugasnya dengan benar.
a.
Gerakan
Reformasi dan Ideologi Pancasila
Dalam
kenyataannya, bangsa Indonesia telah salah mengartikan makna dari sebuah kata Reformasi, yang saat ini menimbulkan
gerakan yang mengatas namakan
Reformasi, padahal gerakan tersebut tidak sesuai dengan pengertian dari
Reformasi. Contohnya, saat masyarakat hanya bisa menuntut dan melakukan
aksi-aksi anarkis yang pada akhirnya terjadilah pengerusakan fasilitas umum,
sehingga menimbulkan korban yang tak bersalah. Oleh karena itu dalam melakukan
gerakan reformasi, masyarakat harus tahu dan paham akan pengertian dari
reformasi itu sendiri, agar proses menjalankan reformasi sesuai dengan tujuan
reformasi tersebut.
Secara
harfiah reformasi memiliki makna
yaitu
suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal
yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan
nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda dalam Kaelan, 1998).
b.
Pancasila
sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Pancasila
merupakan dasar filsafat negara Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, namun ternyata Pancasila tidak diletakkan pada kedudukan dan
fungsinya. Pada masa orde lama pelaksanaan negara mengalami penyimpangan dan
bahkan bertentangan dengan Pancasila. Presiden seumur hidup yang bersifat
diktator. Pada masa orde baru, Pancasila hanya sebagai alat politik oleh penguasa.
Setiap warga yang tidak mendukung kebijakan penguasa dianggap bertentangan
dengan Pancasila.
Oleh
karena itu, gerakan reformasi harus dimasukkan dalam kerangka Pancasila,
sebagai landasan cita-cita dan ideologi negara Indonesia, agar tidak terjadi
anarkisme yan menyebabkan hancurnya
bangsa dan negara Indonesia.
2.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam
era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan
hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan
penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan
terhadap peraturan perundang-undangan. Kerusakan subsistem hukum yang terjadi
pada masa orde baru yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya
politik, ekonomi, dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan
suatu reformasi, menata kembali kerusakan subsistem yang mengalami kerusakan
tersebut.
a.
Pancasila
sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum
Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir,
sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di
Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya
berbagai macam upaya perubahan hukum, atau Pancasila harus merupakan paradigma
dalam suatu pembaharuan hukum. Agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan
masyarakat maka hukum harus senantiasa diperbaharui agar aktual atau sesuai
dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dalam
pembaharuan hukum yang terus menerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai
kerangka berpikir, sumber norma dan sumber nilai-nilainya.
Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi
regulatif. Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu tata
hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar
yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya itu
sendiri.
Sumber hukum meliputi dua macam pengertian. Pertama,
sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara
penyusunan hukum. Kedua, sumber material hukum, yaitu suatu sumber hukum yang
menentukan materi atau suatu isi suatu norma hukum. Pancasila menentukan isi
dan bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia yang tersusun secara
hierarkis. Selain sumber yang terkandung dalam Pancasila reformasi dan
pembaharuan hukum juga harus bersumber pada kenyataan empiris yang ada dalam
masyarakat terutama dalam wujud aspirasi-aspirasi yang dikehendakinya. Oleh
karena itu, dalam reformasi hukum dewasa ini selain Pancasila sebagai paradigma
pembaharuan hukum yang merupakan sumber norma dan sumber nilai, terdapat unsur
pokook yang justru tidak kalah pentingnya yaitu kenyataan empiris yang ada
dalam masyarakat.
b.
Dasar
Yuridis Reformasi Hukum
Reformasi hukum harus konsepsional dan konstitusional,
sehingga reformasi hukum memiliki landasan dan tujuan yang jelas. Dalam upaya
reformasi hukum dewasa ini telah banyak dilontarkan beerbagai macam pendapat
tentang aspek apa saja yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia,
bahkan telah banyak usulan untuk perlunya amandemen atau kalau perlu perubahan
secara menyeluruh terhadap pasal-pasal UUD 1945. Berdasarkan banyaknya aspirasi
yang berkembang cenderung ke arah adanya amandemen terhadap pasal-pasal UUD
1945 bukannya perubahan secara menyeluruh namun hendaklah dipahami secara
obyektif bahwa bilamana terjadi perubahan seluruh UUD 1945 maka hal itu tidak
menyangkut perubahan terhadap pembukaan UUD 1945, karena pembukaan UUD 1945
berkedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Oleh karena itu,
apabila merubah pembukaan dari UUD 1945 maka sama halnya membubarkan negara
Indonesia. Seluruh perubahan maupun produk hukum di Indonesia haruslah
didasarkan pada pokok-pokok pikiran yang yang tertuang dalam Pancasila yang
hakikatnya merupakan cita-cita hukum dan merupakan esensi dari sila-sila
Pancasila.
Dasar yuridis Pancasila sebagai reformasi hukum adalah
Tap No.XX/MPRS/1966, yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, yang berarti sebagai sumber produk serta proses
penegakan hukum yang harus senantiasa bersumber pada nila-nilai Pancasila dan
secara eksplisit dirinci tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila.
c.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum
Dalam suatu negara apapun baiknya suatu peraturan
perundang-undangan namun tidak disertai dengan jaminan pelaksanaan hukum yang
baik, niscahya reformasi hukum akan menjadi sia-sia. Reformasi pada dasarnya
untuk mengembalikan hakikat dan fungsi negara pada tujuan semula yaitu
melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah.
Pelaksanaan perundang-undangan harus mendasarkan pada
terwujudnya atas jaminan bahwa dalam suatu negara kekuasaan adalah ditangan
rakyat. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat
mewujudkan negara demokratis dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan
hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan. Jaminan atas
terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara yang meliputi seluruh unsur
keadilan baik keadilan distributif, keadilan komutatif, serta keadilan legal.
Konsekuensinya dalam pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak
kejaksaan adalah sebagai ujung tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari
praktek KKN.
3.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Politik
Nilai
demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi
bangunan
negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataannya tidak
dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Nilai demokrasi
tersebut secara normatif terjabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal 1
ayat (2) menyatakan:
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan rakyat”.
Pasal 2 ayat
(2)menyatakan:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang
telah ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal 5 ayat (1)
menyatakan:
“Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 6 ayat (2)
menyatakan:
“Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan rakyat dengan suara terbanyak”.
Prinsip-prinsip demokrasi yang terkandung dalam UUD 1945
bilamana
kita kembalikan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila maka
kedaulatan tertinggi negara adalah ditangan rakyat. Rakyat merupakan asal mula
kekuatan negara. Oleh karena itu paradigma ini harus menjadi dasar pijak dalam
reformasi politik.
Untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus
melalui pada reformasi undang-undang yang mengatur sistem politik tersebut,
dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana
terkandung dalam Pancasila.
Susunan keanggotaan MPR sebagaimana termuat
dalam undang-undang politik No.2/1985 tersebut jelas tidak demokratis dan tidak
mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat
sebagai tertuang dalam semangat UUD 1945. Berdasarkan kenyataan susunan keanggotaan
MPR, DPR dam DPRD maka rakyat bertekad menyusun melakukan reformasi dengan
mengubah sistem politik tersebut melalui sidang istimewa MPR tahun 1998
Undang-undang no.4 Tahun 1999 yang mengatur tentang susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD.
Perubahan yang telah dilakukan antara
lain Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah anggota MPR sebanyak 700
orang. Anggota DPR hasil pemilu sebanyak 500 orang. Utusan daerah sebanyak 135
orang, yaitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat 1. Utusan golongan sebanyak 65
orang. Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya adalah pada pasal 2 ayat (3)
yaitu utusan daerah dipillih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui bahwa DPR
adalah merupakan hasil pemilu jadi bersifat demokratis.
Susunan
Keanggotaan DPR:
Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang dalam
Undang-undang No.4 Pasal 11 sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (2) menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas:
a. Anggota partai
politik hasil pemilu
b. Anggota ABRI
yang diangkat
Pasal 11 ayat (3) menyatakan keanggotaan DPR terdiri
atas:
a. Anggota partai
politik hasil pemilu sebanyak 462 orang
b. Anggota ABRI
yang diangkat sebanyak 38 orang.
Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I:
Reformasi atas Undang–undang
politik yang mengatur Susunan
Keanggotaan DPRD Tingkat I, tertuang dalam undang-undang politik No.4 Tahun
1999, sebagai berikut:
Pasal
18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD dilakukan melalui pemilu dan
pengankatan
Pasal
18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas:
a. Anggota partai
politik hasil pemilihan umum
b. Anggota ABRI
yang diangkat
Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa sejumlah anggota DPRD
I ditetapkan sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang
termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.
Susunan
Keanggotaan DPRD II:
Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD II tertuang dalam
Undang-undang Poitik No.4 Tahun 1999, sebagai berikut:
Pasal
25 ayat (1) menyatakan pengisian anggota DPRD II dilakukan berdasarkan hasil
Pemilihan Umum dan pengangkatan.
Pasal 25 ayat (2) menyatakan DPRD II terdiri atas:
a. Anggota partai
politik hasil pemilihan umum
b. Anggota ABRI
yang diangkat
Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa sejumlah anggota DPRD
II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang
termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.
Demi terwujudnya supra struktur yang benar-benar
demokratis dan spiratif maka sangat penting untuk dilakukan penataan kembali
infra struktur politik, terutama tentang partai politik. Dalam undang-undang
ditentukan bahwa partai politik dan golomgan karya hanya meliputi tiga macam
yaitu, Partai Paersatuan Penbangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Pada masa orde baru keberadaan infra struktur
tersebut masih diseragamkan dengan asa tunggal Pancasila, sehingga secara politis
kehidupan yang demikian ini akan mematikan proses demokratisasi dalam kehidupan
negara.
Adapun ketentuan yang mengatur tentang partai politik
diatur dalam Undang-undang No.2 Tahun 1999 tentang partai politik yang lebih
demokratis dan memberikan kebebasan serta keleluasaan untuk menyalurkan
aspirasinya. Berdasarkan ketentuan UU
tersebut warga negara diberi kebebasan untuk membentuk partai politik
untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Atas ketentuan UU tersebut maka bermunculanlah
partai politik di era reformasi ini yang mencapai 114 partai politik.
Pelaksanaan pemilu juga dilakukan perubahan dan diatur
dalam Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang pemilihan umum. Ketentuan
Undang-undang No.3 Tahun 1999, Bab III Pasal 8, dijelaskan bahwa penyelenggara
pemilihan umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan
mandiri, yang terdiri atas unsur partai-partai politik pesertapemilihan umum
dan unsur pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Pancasila dan UUD 1945 beserta pembukaan UUD 1945 ditetapkan
kehidupan demokrasi dan kemakmuran dijadikan sebagai kerangka dasar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam praktek plaksanaannya ternyata berbeda
dengan nilai Pancasila serta semangat dalam UUD 1945. Kondisi yang demikian ini
tidak menumbuhkan kehidupan politik yang demokratis karena penguasa senantiasa
memperkokoh kekuasaaannya dengan berlindung dibalik ideologi Pancasila.
Oleh karena itu reformasi kehidupan
politik agar benar-benar demokratis dilakukan dengan jalan revitalisasi ideologi
Pancasila, yaitu dengan mengembalikan pancasila pada kedudukan serta fungsi
yang sebenarnya sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri negara yang tertuang
dalam UUD 1945. Reformasi kehidupan pilitik juga dilakukan dengan meletakkan
cita-cita kehidupan kenegaraan dan kebangsaan dalam satu kesatuan waktu yaitu
nilai masa lalu, masa kini dan kehidupan masa yang akan datang.
4.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Kebijaksanaan yang selama ini diterapkan hanya
mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan
bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan
sekelompok kecil orang bahkan penguasa. Tidak terwujudnya pelembagaan proses
politik yang demokratis, mengakibatkan hubungan pribadi merupakan mekanisme
utama dalam hubungan sosial, politik, dan ekonomi dalam suatu negara. Kelemahan
atas sistem hubungan kelembagaan demokratis tersebut memberikan peluang bagi
tumbuh berkembangnya hubungan antara penguasa politik dengan pengusaha, bahkan
antara birokrat dengan pengusaha (Sanit, 1999: 85). Terlebih lagi karena
lemahnya sistem kontrol kelembagaan berkembang pula penguasa sekaligus sebagai
pengusaha, yang didasarkan atas birokrasi dan wibawa keluarga pengusaha.
Kondisi yang demikian ini jelas tidak mendasarkan atas
nilai-nilai pancasila yang meletakkan kemakmuran pada paradigma demi
kesejahteraan seluruh bangsa. Bangsa sebagai unsur pokok serta subyek dalam
Negara yang merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia individu makhluk sosial,
adalah adalah sebagai satu keluarga bangsa. Oleh karena itu perubahan dan
pengembangan ekonomi harus diletakkan pada peningkatan harkat martabat serta
kesejahteraan seluruh bangsa sebagai satu keluarga. Sistem ekonomi yang
berbasis pada kesejahteraan rakyat menurut Moh. Hatta, adalah merupakan pilar (soko
guru) ekonomi Indonesia.
Sistem ekonomi Indonesia pada masa orde baru bersifat
“birokratik otoritarian” yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan
partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan
nasional hampir sepenuhnya berada ditangan penguasa bekerja sama dengan
kelompok militer dan kaum teknokrat. Adapun kelompok pengusaha oligopostik
didukung oleh pemerintah bekerja sama dengan masyarakat bisnis internasional,
dan terlebih lagi kuatnya pengaruh otoritas kekuasaan keluarga pejabat Negara
termasuk presiden (William Liddle, 1995: 74).
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yanga
hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan
barsama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan
sekelompok kecil orang bahkan pengusaha. Pada era ekonomi global dewasa ini
dalam kenyataannya tidak mampu bertahan. krisis ekomoni yang terjadi di dunia
dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga
kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat.
Dalam kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu
bertahan pada masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi
yang berbasis pada usaha rakyat. Oleh karena itu, rekapitalisasi pengusaha pada
masa krisi dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak membantu pengusaha yang
sedang terpuruk.
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi
ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai pancasila
yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut:
a.
Keamanan
pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan “social safety net” yang dipopulerkan
dengan program jaringan pengaman sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka pemerintah harus secara konsisten
menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknum pemerintah masa orde baru yang
melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan dan usaha.
b.
Program
rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan menciptakan
kondisi kepastian usaha, yaitu dengan diwujudkannya perlindungan hukum serta
undang-undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam
sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung
perekonomian.
c.
Transformasi
struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem
untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation). Transformasi struktural ini meliputi
proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah
ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi sistem ke ekonomi pasar, dari
ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi
ekspor (Nopirin, 1999:4) dengan sendirinya interviensi birokrat pemerintahan
yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus
segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya
terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan
dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi kesenjangan
ekonomi.
Tidak hanya
itu, agar terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka pemerintah juga memberikan
kebijakan ekonomi seperti:
a.
Kebijakan
ekonomi makro
Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan
pemerintah dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah
terhadap valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai
anggaran berimbang, dengan membatasi devisa anggaran sampai pada tingkat yang
dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri. Kebijaksanaan moneter
yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan untuk menekan
laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan
menahan naiknya permintaan anggaran, juga untuk mendorong masyarakat
meningkatkan tabungan di sektor perbankan. Meskipun demikian pemerintah
menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat menjadi salah satu faktor
terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat
kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi
tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada
tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.
b.
Kebijakan
ekonomi mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah,
ditujukan, antara lain:
1.
Untuk
mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan
rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program penyediaan
kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan
pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan
pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan
rendah.
2.
Menyehatkan
sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan
lembaga perbankan.
3.
Merestrukturisasi
hutang luar negeri. mereformasi struktural di sektor riil, agar perekonomian,
terutama sektor riil dapat berkembang lebih efisien, pemerintah melancarkan
berbagai program reformasi struktural. Reformasi struktural di sektor riil
mencakup:
a.
Penghapusan
berbagai praktek monopoli,
b.
Deregulasi
dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dalam dan
luar negeri dan bidang investasi,
c.
Privatisasi
BUMN. Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami
pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan,
antara lain, adanya praktek-praktek monopoli di berbagai bidang usaha. Dengan
praktek-praktek monopoli telah terjadi konsentrasi kekuatan pasar hanya pada
satu atau beberapa pelaku usaha, sehingga kegiatan produksi, distribusi menjadi
tidak efisien dan secara lebih luas daya saing perekonomian nasional menjadi
lemah.
d.
Mendorong
ekspor. permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk memulihkan
kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi ekspor. Tambahan pula
dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tinggi dewasa ini, Indonesia makin
memiliki daya saing dalam barang ekspor yang padat karya dan padat kekayaan
alam. Namun peningkatan ekspor dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala,
yakni keengganan pihak luar negeri membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan
baku, serta hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ekspor, seperti
misalnya operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan administrasi
perpajakan.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Jogyakarta:
Paradigma, Edisi Reformasi.
Komalasari, Kokom.
2007. Pendidikan Pancasila. Jakarta:
Lentera Cendekia.
Syarbani,
Syahrial. 2004. Pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia.